Rabu, 04 Maret 2009

untuk seseorang dari tanah rencong

Kau tawarkan padaku
keindahan

Ku berikan padamu
kebersahajaan;
persahabatan dalam ikatan persaudaraan

Tak bisa kurang
Tak bisa lebih

Kepada Sang Pemilik Cinta

Dua puluh purnama telah berselang dalam musim yang berbeda
Kadang ia adalah musim semi yang mengajak bunga-bunga mekar dan burung-burung terbang
Membentuk siluet merah jambu ketika senja menjelang
Kadang ia serupa musim dingin yang membekukan yang hidup dan bernyawa
Seolah yang dulu ada menjadi tak pernah ada
Kadang ia seperti kini; tak berasa, tak bermakna.

Rabbi, Sang Penguasa Jagad Raya
Kadang aku ingin bertanya
Mengapa tak Kau jadikan dua puluh purnama itu
Sebagai musim semi
Yang mengajak bunga-bunga mekar dan burung-burung terbang
Hingga tak perlu ku lihat kristal-kristal es membeku pada danau, pada daun, pada bunga
Mengapa harus Kau jadikan aku menunggu musim itu
Sedang ia hanyalah gunung es; dingin, terjal, tinggi, tak terjangkau.

Rabbi, Sang Pemberi Anugerah
Dua puluh purnama berjalan
Tunas-tunas baru bermunculan, melempar tanya padaku
'maukah kau menjadi matahariku?'
Rabbi, Kau tahu aku begitu bersyukur atas ini
Sebuah anugerah yang karenanya tunas-tunas itu ada dan menanti jawabanku
Tapi maaf-Kau pun tahu Rabb-...
Aku hanya bisa berkata 'maaf'.

Aku lantas bertanya-tanya
Mengapa Kau jadikan mereka mengharap matahariku?
Mengapa tidak ia saja?
si gunung es yang dinginnya tak mau hilang dari tulang
si mata elang yang tatapannya tajam menusuk
si lidahapi yang kata-katanya tak terdebat
Mengapa tidak ia saja, Rabb?
Ia saja...

Ah, aku telah begitu lancang pada-Mu?
Siapa tah aku, mempertanyakan ketentuan-Mu?
Maafkan aku, Rabb...

Dua puluh purnama telah berselang dalam musim yang berbeda
Kadang ia adalah musim semi
Kadang ia serupa musim dingin
Kadang ia seperti kini; tak berasa, tak bermakna.


March, 4th. 01.30 a.m.